Kemendesakan Penguasaan Blok Rokan Sebagai Amanat Konstitusi
Pemerintahan Jokowi-JK kembali diuji komitmen dan konsistensinya dalam menjalankan Trisakti dan Nawacita.

PADA Tahun 2021 pengelolaan Blok Minyak dan Gas (Migas) di Rokan, Provinsi Riau oleh PT. Chevron akan berakhir masa kontraknya dengan Pemerintah Republik Indonesia. Sebelumnya, pada awal bulan Januari Tahun 2018 ini, salah satu Blok Migas lainya, yaitu Mahakam yang telah berakhir kontraknya dan dikelola oleh PT. Total E&P Indonesia (TEPI) selama setengah abad juga telah diserahkan ke Pertamina.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo juga diuji lagi komitmen dan konsistensinya dalam menjalankan Trisakti dan Nawacita, terutama soal kemandirian ekonomi bangsa terkait dengan penguasaan dan pengelolaan kebijakan energi nasional. Sebagai BUMN, tentu Pertamina akan menunggu sikap resmi Presiden Joko Widodo atas kebijakan pengelolaan Blok Rokan pasca dikuasai oleh PT. Chevron. Ujian tersebut adalah terkait dengan usulan atau proposal yang diajukan oleh pihak Chevron dan diterbitkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Migas yang Berakhir Kontrak Kerjasamanya (KKS). Adalah ujian nasionalisme paling dasar bagi Presiden dalam berpihak kepada siapa dengan adanya 2 (dua) dokumen yang telah diajukan tersebut.
Secara strategis dan teknis operasional, pengambilalihan Blok Migas Rokan oleh Pertamina dan peluang perpanjangan yang diberikan atas proposal dan dukungan Permen ESDM No. 23 Tahun 2018 kepada PT. Chevron atau swasta asing lain akan menempatkan posisi kebijakan Presiden berhadapan-hadapan dengan pro Ekonomi Konstitusi dan pro Ekonomi Kapitalisme-Neoliberalisme. Apabila pilihannya memberikan pengelolaan Blok Rokan ke Pertamina, maka dengan demikian Presiden mengatasi permasalahan keberlanjutan kebijakan BBM Satu Harga dan eksistensi Pertamina sebagai BUMN yang dilindungi UUD 1945 dan UU. Sementara, jika Presiden memberikan kembali pengelolaan Blok Rokan itu kepada pihak selain Pertamina, maka beban kebijakan BBM Satu Harga (terutama subsidi) akan semakin besar dan eksistensi Pertamina sebagai BUMN akan terancam. Namun, lebih dari itu adalah posisi politik Presiden dalam menghadapi kontestasi Pemilihan Presiden secara langsung (Pilpres) pada Tahun 2019 elektabiitasnya akan semakin menurun.
Keberlanjutan BBM Satu Harga
Oleh sebab itu, kebijakan BBM Satu Harga yang sudah terlanjur mendapat dukungan dari masyarakat harus terus dilanjutkan apabila Presiden Joko Widodo ingin terus mendapat dukungan dari publik. Caranya tentu saja memihak pada BUMN Pertamina agar mampu meningkatkan produksi, efesiensi dan efektifitas kinerja perusahaan tersebut melalui penyerahan pengelolaan Blok-Blok Migas yang akan berakhir KKS-nya, khususnya Blok Rokan. Dengan begitu, Pertamina akan mampu memberikan dukungan penuh di sektor hilir atas kekurangan produksi Migas dalam negeri selama ini yang sebesar 800 ribu barrel per hari dan diimpor dari perusahaan lain di luar negeri.
Dengan penguasaan penuh Blok Rokan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Pertamina, tentu saja akan membantu untuk menutupi kebutuhan konsumsi minyak nasional yang sebesar 1,6 juta barrel per hari tersebut. Lebih dari itu, Pertamina akan lebih leluasa dalam menentukan Harga Pokok Produksi (HPP) nya yang selama ini sangat ditentukan oleh perusahaan dagang (trader).
Keputusan Presiden dalam kasus proposal PT. Chevron dan Permen No. 23 Tahun 2018 juga sangat krusial bagi keberlanjutan eksistensi Pertamina dalam melayani kebijakan BBM Satu Harga yang menjadi program unggulan Presiden. Tidak hanya itu, dalam jangka panjang Pertamina akan mampu berbuat lebih banyak dalam membangun kilang-kilang produksi baru yang tentu saja akan menguntungkan posisi produksi BBM yang dihasilkan oleh Pertamina. Dengan begitu, kekurangan kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri akan bisa ditutupi dan impor BBM akan berkurang atau nihil.
Dengan kemampuan keuangan negara yang semakin terbatas, maka pengambilalihan Blok-blok Migas yang akan berakhir KKS nya oleh Pertamina menjadi sesuatu kebutuhan mendesak dan bernilai dalam meningkatkan kapasitas penerimaan negara. Tanpa itu, maka beban subsidi kebijakan BBM Satu Harga akan semakin besar di satu sisi, dan beban biaya produksi dan administrasi Pertamina akan semakin besar, sehingga dividen ke kas negara akan berkurang atau hilang. Penerimaan pajak akan digenjot oleh Kementerian Keuangan sebagai alternatif lain sumber penerimaan negara yang di saat kondisi ekonomi yang buruk tentu akan memberatkan rakyat banyak.
Kemendesakan penguasaan Blok Rokan adalah pertaruhan akhir Presiden Joko Widodo dalam menegakkan amanat Ekonomi Konstitusi, pasal 33 UUD 1945. Semoga ini menjadi perhatian serius para pemangku kepentingan (stakeholder), kecuali kita memang memilih kemandirian ekonomi bangsa hanya sebatas jargon.